Rabu, 13 April 2011

Kekuasaan, Kebangkitan, Keagungan

Sebuah negeri yang berlimpah kekayaan, namun miskin keteladanan, demikian seorang guru membisikkan pesan ke muridnya tentang Indonesia di pertengahan 2010. Mungkin di situ letak keadilan. Singapura hanya punya sebuah pulau kecil, namun karena hanya itu yang dimiliki, mereka rawat dengan cermat. Tidak saja alamnya dirawat baik, perilaku manusianya juga terawat baik

Indonesia punya belasan ribu pulau,  tidak ada satu pun yang tertata rapi sebagaimana Singapura. Jangan tanya manusianya. Mungkin itu sebabnya, tetua di zaman dulu bertanya: kekayaan alam itu berkah atau musibah?

Merapikan ulang Kekuasaan
Dulunya, hanya di Timur ada teori kepala naga. Bila kepala bergerak sedikit saja, maka badan dan ekor bergerak lebih keras  lagi.   Namun Amerika Serikat dengan George W. Bush, memberi bukti tambahan. Bagaimana kekacauan di kepala  (pemimpin)  tidak  saja  merusak badan dan ekor naga (tatanan dan rakyat), namun juga membuat banyak naga di tempat lain menderita.

Ini menghadirkan urgensi, bagaimana manusia akan merenda kekuasaan di masa depan? Sebagaimana ditauladankan terang benderang oleh Barack 0bama di AS, lebih rapi dan terkendali sedikit saja kepala naganya, maka badan, ekor dan bahkan naga-naga lain ikut rapi dan terkendali.

Sehingga pekerjaan rumah terbesar kemudian adalah dari mana kekuasaan itu berakar? Pemimpin-pemimpin agung (Mohammad Yunus, Nelson Mandela, Dalai Lama, Mahatma Gandhi) semuanya memiliki pohon kepemimpinan yang kokoh karena berakar kuat ke dalam. Mungkin itu sebabnya Thich Nhat Hanh dalam The Art of Power menulis the true power comes from within. Bangunan kekuasaan yang kuat sekaligus megah, lebih mungkin terbangun bila berakar kuat ke dalam.

Sayangnya, beberapa pemilu Indonesia mempertontonkan secara terang kalau kekuasaan hanya tertarik pada hal-hal luar: uang, kursi kekuasaan, pujian orang. Dalam bahasa seorang guru, manusia termiskin adalah mereka yang hanya memiliki uang dan dendam. Bila begini gambarnya mudah dimaklumi di mana-mana kekuasaan hanya menghadirkan bau tidak sedap yang mengundang antipati. Tidak sedikit manusia yang jernih dan bersih, setelah masuk kekuasaan ikut tertular bau tidak sedap tadi. Sekaligus membawa konsekwensi lain, ia yang setia pada kebersihan dan kejernihan hati kemudian lari menjauh dari kekuasaan.

Seorang  sahabat   benar   ketika  mengemukakan,  bila  semua yang bersih dan jernih menjauh dari kekuasaan, akankah   kekuasaan     dibiarkan    selamanya   menyebarkan kerusakan dan kebusukan? Dan sejarah memang menyimpan orang-orang bersih dan jernih yang merubah dunia. Sebutlah George Washington, Winston Churchill, Mahatma Gandhi, Nelson Mandela sampai HH Dalai Lama.

Semuanya memang orang-orang bersih-jernih yang turun merapikan ulang kekuasaan. Namun jarang yang mencermati, pemimpin-pemimpin  ini lahir dengan ‘biaya’ yang amat mahal. Nelson Mandela lebih dari seperempat abad tersiksa di penjara. Mahatma Gandhi sejak muda jadi pengacara sudah dipentungi hingga berdarah-darah. HH Dalai Lama kehilangan negeri yang  ia cintai di umur belasan tahun, lebih dari setengah abad mengungsi di negeri orang. Pertanyaannya kemudian, punyakah kita pemimpin yang berani menyelamatkan negeri ini dengan ongkos besar berupa cacian, makian, injakan? Tahun pertama dicaci, tahun kedua dimaki, tahun ketiga diinjak pakai kaki,  kemudian baru kebangkitan mungkin datang.

Tiga cahaya kekuasaan
Sengaja atau tidak  kita semua sedang melukis. Melalui ucapan, pikiran, perbuatan kita sedang melukis masa depan. Benar  pendapat yang mengatakan, pendiri-pendiri negeri ini ketika membuat rancang bangun Indonesia, kemudian menemukan Panca Sila, Bhineka Tunggal Ika, tidak saja merenung ratusan tahun ke belakang, melainkan merenung ribuan tahun ke belakang.

Mohammad Yamin dkk  jauh dari kemungkinan rabun tentang masa depan. Sebaliknya, menunjukkan tanda-tanda kemampuan membaca masa depan jauh melebihi zamannya. Bila kemudian generasi berikutnya terlihat kikuk dan ragu di depan perubahan, layak ditanyakan apakah kita lebih maju dari pendahulu?
Untuk merespons terhadap tuntutan inilah, kita memerlukan pemimpin dengan konstruksi batin yang kokoh berakar ke dalam. Itu sebabnya dalam bab The true power, Thich Nhat Hanh menulis lima sumber kekuasaan: faith, diligence, mindfulness, concentration, insight. Keyakinan, itu yang pertama dan utama. Makanya banyak  yang meyakini, bila orang biasa rumusnya melihat baru yakin, pemimpin di jalan ini terbalik: “yakin kemudian melihat keyakinannya menjadi kenyataan”.

Keyakinan buta tanpa usaha, itu mimpi yang membohongi diri. Itu sebabnya keyakinan diikuti ketekunan. Seperti menetesi batu dengan air, sehari dua hari tidak akan menghasilkan apa-apa. Namun bila batu yang sama ditetesi air terus menerus, ia akan membuat batunya berlubang. Ketekunan seperti inilah yang diperlukan pemimpin di depan birokrasi yang lamban serta korupsi yang demikian membumi.
Serupa dengan mengayuh perahu, keyakinan dan ketekunan mengayuh perahunya keras sekali. Namun kesadaran dan konsentrasi (waspada dengan semua kemungkinan halangan, terus awas pada arah yang dituju) kemudian menjadi dirigen pembimbing. Ujung-ujungnya, ketika ketekunan usaha dibimbing arah perjalanan yang tepat, ini yang menghasilkan kehidupan berbangsa yang terang (insight).

Disamping pendekatan lima sumber kekuasaan tadi, ada juga yang merubah kekuasaan yang cenderung gelap dengan tiga cahaya. Ke atas (subyek persembahan, atasan) memancarkan cahaya pelayanan, sujud, bakti (devotion). Kesamping dan ke bawah (sesama manusia dan penghuni semesta) memancarkan cahaya welas asih (compassion). Dan untuk diri sendiri memancarkan cahaya ketekunan (diligence). Tatkala ketiga alam (atas, tengah, bawah) sudah bermandikan cahaya, maka semua  kegelapan (keterbelakangan, kemiskinan, kebodohan, kebencian, kemarahan) secara alamiah akan menghilang.

Membicarakannya mudah, namun begitu berhadapan kenyataan, jadi susah. Terutama di zaman yang ditandai oleh banyak sekali keruntuhan. Makanya ada yang menulis tentang spiritual down fall (keruntuhan spiritual): when shame is absent, the down fall is complete. Tatkala rasa malu menghilang, maka kejatuhan seseorang secara spiritual sudah sempurna.

Sekaligus menjadi bekal dalam memilih pemimpin, kalau kita memilih pemimpin yang tidak tahu malu, Indonesia sedang menyongsong zaman keruntuhan. Bila memilih pemimpin yang diterangi tiga cahaya kekuasaan tadi, Nusantara sedang mempersiapkan datangnya zaman keagungan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar